Awalnya saya tidak menyadari
bahwa yang saya alami adalah depresi. Saya pikir ini hanya stres biasa saja
yang lama kelamaan pasti akan hilang dengan sendirinya. Tapi saya mulai curiga
saat stres yang saya alami terasa tidak berujung, malah timbul gejala lain
seperti : takut keluar rumah, anti sosial, susah tidur atau kebanyakan tidur,
bangun tidur terasa lelah dan cemas tanpa sebab, maunya menyendiri di kamar,
emosi sangat-sangat labil (lebih labil dibandingkan PMS), dan gejala lainnya. Karena
saya penasaran, akhirnya saya google-ing dan menyimpulkan bahwa yang saya alami
ini adalah depresi.Respon saya saat mencari tau hingga menyimpulkan apa yang saya
alami adalah hanya diam, agak kaget, dan bertanya pada diri sendiri “Kok
bisa?Kenapa saya?” (karena dalam pikiran saya, depresi itu hanya ada di
film-film yang saya lihat maupun buku-buku yang saya baca).
Depresi yang saya alami ini
awalnya hanya stres biasa yang berawal dari pertengahan 2011, tapi karena
terakumulasi, jadilah penimbunan stres yang berujung depresi. Pada tahun 2011,
ada beberapa kejadian yang membuat saya stres. Kalau masalah akademik sih sudah
saya sisihkan karena sudah saya anggap makanan sehari-hari (saya kuliah di
jurusan yang setiap hari ada laporan dan praktik). Tapi ternyata dengan
padatnya akademik, orangtua saya sakit, kakak saya nikah, dan pressure di amanah saya di organisasi membuat
saya limbung. Loh, harusnya kan bahagia kakaknya nikah? Saya bahagia kok
akhirnya kakak kesayangan saya menemukan jodohnya. Tapi yang membuat saya
terkadang suka sakit hati (bahkan kalau tiba-tiba ingat masih suka terasa agak
sakit) adalah kurangnya kakak saya membantu saya dalam menyiapkan mental saya
untuk ditinggal dan untuk jadi anak ‘satu-satunya’ di rumah.
Ketika saya tanya pada ibu saya
kemarin-kemarin tentang gimana cara kakak saya mengutarakan niatnya mau menikah
(sekalian kode cari bayangan kalau saya mau menikah nanti harus gimana hehe),
ibu saya bilang “Kakak tiba-tiba aja ngasih keputusan ingin nikah tanggal
segitu bulan segitu, nggak diskusi dulu sama orangtua”. Memang sih kakak saya
sudah sering mengenalkan pacarnya, tapi tetap saja dalam pandangan saya dan
orangtua saya pernikahan mereka berasa kurang diskusi. Belum lagi ayah saya
bolak-balik UGD dan akhirnya haru dirawat di rumah sakit. Pening rasanya kepala
saya. Kakak saya jarang ada di rumah karena sibuk mempersiapkan pernikahan (walaupun
tetap gantian jaga ayah di rumah sakit) dan sebagai anak satu-satunya yang ada
di rumah mau tidak mau hanya sayalah tempat curhatan ibu saya, padahal saat itu
rasanya saya juga ingin berkeluh kesah kepada orang lain.
Dengan dua kondisi itu, saya juga
tertekan dengan amanah saya di kampus. Kebetulan amanah itu hanya dipegang
beberapa orang dengan kondisi ketuanya yang kurang sigap, teman-teman yang lain
yang susah diajak bekerja sama membuat saya semakin stres. Kenapa stres?karena
yang saat itu yang paham mengenai amah tersebut hanya saya (karena saya juga
ada di amanah tersebut pada tahun sebelumnya), belum lagi pertanyaan-pertanyaan
dari ketua organisasi paling tinggi, dari senior-senior, dari badan penilai
organisasi, dan orang-orang lainnya. Ketika saya cerita pada teman saya pun
responnya tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan, walaupun saya tau mungkin
mereka juga memiliki masalah yang tidak saya ketahui.
Yang bisa saya lakukan di depan
mereka semua adalah berdiri dengan menggunakan ‘topeng saya baik-baik saja’. Saya
berlagak kuat dengan semua tekanan itu dengan menebar senyuman palsu ke
orang-orang.
Sebetulnya sih kalau ayah saya
tidak manja berlebihan (dalam arti begini, beliau memang sedang sakit, tapi
yang saya dan keluarga inginkan adalah mau menuruti apa saran dokter, mau makan
makanan sehat..katanya ingin sehat, tapi keras kepala) mungkin saya tidak
merasa terlalu penat. Tapi dengan timbal balik yang beliau berikan, ibu yang
bersandar pada saya, kakak yang sibuk mengurusi pernikahan membuat saya bingung
harus dengan cara apa saya menyalurkan stres saya ini. Saya teringat sms dari
pacar kakak saya (sekarang sih kakak ipar saya hehe) yang kalau saya ingat masih
suka bikin hati saya agak sakit.
Jadi waktu itu ayah mengeluh saya
ingin ketemu dengan kakak saya (karena kakak jarang pulang untuk urus-urus
pernikahan). Akhirnya saya sms kakak saya dan saya juga agak curhat ke kakak
saya tentang kesepian saya. Saya lupa apakah kakak saya balas atau tidak dan
kalaupun dibalas, saya lupa isi smsnya apa. Entah beberapa jam atau hari
kemudian (saya lupa), pacar kakak saya mengirim sms kepada saya yang isinya
kira-kira “Dek coba handle dulu sendiri ya, kasian kakak lagi sibuk buat urus
ini itu”. Jleb..ya Allah rasanya sakit banget. Saya tahu maksud beliau sangat
baik dan beliau tidak ada maksud menyakiti hati saya. Tapi di saat itu, saat
saya butuh tempat bersandar yang saya pikir hanya kakak saya, mendapat sms
seperti itu kontan membuat saya menangis. “Kan wajar ini sms adik kepada
kakaknya, tapi kok malah ditanggapi seperti itu” pikir saya.
Akhirnya singkat cerita kakak
saya pun menikah dan alhamdulillah ayah pun sudah keluar dari rumah sakit.
Berpisah dengan kakak adalah hal yang sangat meyakitkan dan menyedihkan buat
saya (padahal cuma ditinggal menikah dan masih tinggal di kota yang sama). Di akhir
acara pernikahan sebelum berpisah, saya memeluk kakak saya sambil menangis. Rasanya
sakit ternyata berpisah dengan kakak.
Intermezzo, alasan saya sampai
menangis saat ditinggal kakak menikah karena saya dengan kakak sangat dekat. Beliau
adalah kakak saya satu-satunya. Kebanyakan katanya cinta pertama seorang
perempuan adalah ayahnya, tapi untuk saya cinta pertama saya adalah kakak saya
(dan kalau diingat-ingat kecengan-kecengan saya secara fisik mirip kakak saya).
Saya memang tidak terlalu dekat dengan ayah saya, jadi mungkin cinta pertama
saya teralihkan pada sosok kakak saya. Sebagai kakak laki-laki, beliau tidak
jarang keras kepada saya dan bercandanya yang sering membuat saya sakit hati.
Tapi di sisi lain beliau sangat sering bermain dengan saya (main gulat-gulatan,
kartu, dan mainan-mainan yang nggak cewek banget lainnya), bermain gitar dan
bernyanyi bersama, membaca komik atau nonton tv bersama (karena umumnya selera
bacaan dan tontonan kami sama, kecuali nonton bola ‘orang’ bukan kartun), dan
mayoritas punya kesukaan yang sama (suka kucing, suka masak, dan lain-lain).
Ada satu momen dimana saya
sangat-sangat melting dengan perlakuan kakak saya terhadap saya. Satu
waktu tidak sengaja jari tangan saya tertusuk pisau yang tersembunyi di bawah
koran. Karena agak dalam, jelas darah yang keluar pun sangat banyak. Saya hanya
diam karena efek kaget tertusuk pisau ditambah melihat darah yang keluar. Setelah
agak ‘sadar’ saya cuma refleks mau ke kamar mandi untuk mencuci jari tersebut
dan setelahnya mau diberi betadine. Mungkin kakak saya ikut-ikutan kaget,
refleks beliau keluar rumah memotong lidah buaya untuk menyembuhkan luka saya. Menurut
beliau yang dulunya pernah ikut palang merah, lendir lidah buaya bisa
menyembuhkan luka. Duh terharu..rasa-rasanya ingin nangis di depan kakak, tapi
gengsi hehe. Waktu itu karena bertepatan dengan Idul Adha (kalau tidak salah),
ayah sedang tidak ada di rumah bantu-bantu di mesjid dan ibu kebetulan sedang
menunaikan ibadah haji. Mungkin kakak saya merasa punya tanggung jawab lebih
saat itu, sehingga kesigapannya agak membuat saya kaget juga, kok tumben gitu
hehe.
Lanjut ke pasca pernikahan kakak,
berminggu-minggu setelah kakak menikah, saya masih digelayuti sedih. Masih berpikiran
bahwa kakak saya sudah direbut oleh orang lain. Setiap kakak saya akan pulang ke
kontrakannya setelah berkunjung dari rumah orangtua, saya pasti menangis
(itulah alasan saya tidak pernah mengantar beliau keluar pintu). Tapi lama
kelamaan saya bisa menerima dan pandangan saya terhadap kakak ipar saya pun
berubah.
(Bersambung...)
Di lanjutan yang berikutnya, saya
akan menceritakan akumulasi stres lainnya dan dampak verbal abuse pada saat saya masih kecil yang ternyata juga memicu terjadinya
depresi yang saya alami.