Rabu, 25 Mei 2016

AKU DAN DEPRESI (BAGIAN 2)

Awalnya saya tidak menyadari bahwa yang saya alami adalah depresi. Saya pikir ini hanya stres biasa saja yang lama kelamaan pasti akan hilang dengan sendirinya. Tapi saya mulai curiga saat stres yang saya alami terasa tidak berujung, malah timbul gejala lain seperti : takut keluar rumah, anti sosial, susah tidur atau kebanyakan tidur, bangun tidur terasa lelah dan cemas tanpa sebab, maunya menyendiri di kamar, emosi sangat-sangat labil (lebih labil dibandingkan PMS), dan gejala lainnya. Karena saya penasaran, akhirnya saya google-ing dan menyimpulkan bahwa yang saya alami ini adalah depresi.Respon saya saat mencari tau hingga menyimpulkan apa yang saya alami adalah hanya diam, agak kaget, dan bertanya pada diri sendiri “Kok bisa?Kenapa saya?” (karena dalam pikiran saya, depresi itu hanya ada di film-film yang saya lihat maupun buku-buku yang saya baca). 

Depresi yang saya alami ini awalnya hanya stres biasa yang berawal dari pertengahan 2011, tapi karena terakumulasi, jadilah penimbunan stres yang berujung depresi. Pada tahun 2011, ada beberapa kejadian yang membuat saya stres. Kalau masalah akademik sih sudah saya sisihkan karena sudah saya anggap makanan sehari-hari (saya kuliah di jurusan yang setiap hari ada laporan dan praktik). Tapi ternyata dengan padatnya akademik, orangtua saya sakit, kakak saya nikah, dan pressure di amanah saya di organisasi membuat saya limbung. Loh, harusnya kan bahagia kakaknya nikah? Saya bahagia kok akhirnya kakak kesayangan saya menemukan jodohnya. Tapi yang membuat saya terkadang suka sakit hati (bahkan kalau tiba-tiba ingat masih suka terasa agak sakit) adalah kurangnya kakak saya membantu saya dalam menyiapkan mental saya untuk ditinggal dan untuk jadi anak ‘satu-satunya’ di rumah.

Ketika saya tanya pada ibu saya kemarin-kemarin tentang gimana cara kakak saya mengutarakan niatnya mau menikah (sekalian kode cari bayangan kalau saya mau menikah nanti harus gimana hehe), ibu saya bilang “Kakak tiba-tiba aja ngasih keputusan ingin nikah tanggal segitu bulan segitu, nggak diskusi dulu sama orangtua”. Memang sih kakak saya sudah sering mengenalkan pacarnya, tapi tetap saja dalam pandangan saya dan orangtua saya pernikahan mereka berasa kurang diskusi. Belum lagi ayah saya bolak-balik UGD dan akhirnya haru dirawat di rumah sakit. Pening rasanya kepala saya. Kakak saya jarang ada di rumah karena sibuk mempersiapkan pernikahan (walaupun tetap gantian jaga ayah di rumah sakit) dan sebagai anak satu-satunya yang ada di rumah mau tidak mau hanya sayalah tempat curhatan ibu saya, padahal saat itu rasanya saya juga ingin berkeluh kesah kepada orang lain.

Dengan dua kondisi itu, saya juga tertekan dengan amanah saya di kampus. Kebetulan amanah itu hanya dipegang beberapa orang dengan kondisi ketuanya yang kurang sigap, teman-teman yang lain yang susah diajak bekerja sama membuat saya semakin stres. Kenapa stres?karena yang saat itu yang paham mengenai amah tersebut hanya saya (karena saya juga ada di amanah tersebut pada tahun sebelumnya), belum lagi pertanyaan-pertanyaan dari ketua organisasi paling tinggi, dari senior-senior, dari badan penilai organisasi, dan orang-orang lainnya. Ketika saya cerita pada teman saya pun responnya tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan, walaupun saya tau mungkin mereka juga memiliki masalah yang tidak saya ketahui.

Yang bisa saya lakukan di depan mereka semua adalah berdiri dengan menggunakan ‘topeng saya baik-baik saja’. Saya berlagak kuat dengan semua tekanan itu dengan menebar senyuman palsu ke orang-orang.
Sebetulnya sih kalau ayah saya tidak manja berlebihan (dalam arti begini, beliau memang sedang sakit, tapi yang saya dan keluarga inginkan adalah mau menuruti apa saran dokter, mau makan makanan sehat..katanya ingin sehat, tapi keras kepala) mungkin saya tidak merasa terlalu penat. Tapi dengan timbal balik yang beliau berikan, ibu yang bersandar pada saya, kakak yang sibuk mengurusi pernikahan membuat saya bingung harus dengan cara apa saya menyalurkan stres saya ini. Saya teringat sms dari pacar kakak saya (sekarang sih kakak ipar saya hehe) yang kalau saya ingat masih suka bikin hati saya agak sakit.

Jadi waktu itu ayah mengeluh saya ingin ketemu dengan kakak saya (karena kakak jarang pulang untuk urus-urus pernikahan). Akhirnya saya sms kakak saya dan saya juga agak curhat ke kakak saya tentang kesepian saya. Saya lupa apakah kakak saya balas atau tidak dan kalaupun dibalas, saya lupa isi smsnya apa. Entah beberapa jam atau hari kemudian (saya lupa), pacar kakak saya mengirim sms kepada saya yang isinya kira-kira “Dek coba handle dulu sendiri ya, kasian kakak lagi sibuk buat urus ini itu”. Jleb..ya Allah rasanya sakit banget. Saya tahu maksud beliau sangat baik dan beliau tidak ada maksud menyakiti hati saya. Tapi di saat itu, saat saya butuh tempat bersandar yang saya pikir hanya kakak saya, mendapat sms seperti itu kontan membuat saya menangis. “Kan wajar ini sms adik kepada kakaknya, tapi kok malah ditanggapi seperti itu” pikir saya. 

Akhirnya singkat cerita kakak saya pun menikah dan alhamdulillah ayah pun sudah keluar dari rumah sakit. Berpisah dengan kakak adalah hal yang sangat meyakitkan dan menyedihkan buat saya (padahal cuma ditinggal menikah dan masih tinggal di kota yang sama). Di akhir acara pernikahan sebelum berpisah, saya memeluk kakak saya sambil menangis. Rasanya sakit ternyata berpisah dengan kakak.

Intermezzo, alasan saya sampai menangis saat ditinggal kakak menikah karena saya dengan kakak sangat dekat. Beliau adalah kakak saya satu-satunya. Kebanyakan katanya cinta pertama seorang perempuan adalah ayahnya, tapi untuk saya cinta pertama saya adalah kakak saya (dan kalau diingat-ingat kecengan-kecengan saya secara fisik mirip kakak saya). Saya memang tidak terlalu dekat dengan ayah saya, jadi mungkin cinta pertama saya teralihkan pada sosok kakak saya. Sebagai kakak laki-laki, beliau tidak jarang keras kepada saya dan bercandanya yang sering membuat saya sakit hati. Tapi di sisi lain beliau sangat sering bermain dengan saya (main gulat-gulatan, kartu, dan mainan-mainan yang nggak cewek banget lainnya), bermain gitar dan bernyanyi bersama, membaca komik atau nonton tv bersama (karena umumnya selera bacaan dan tontonan kami sama, kecuali nonton bola ‘orang’ bukan kartun), dan mayoritas punya kesukaan yang sama (suka kucing, suka masak, dan lain-lain). 

Ada satu momen dimana saya sangat-sangat melting  dengan perlakuan kakak saya terhadap saya. Satu waktu tidak sengaja jari tangan saya tertusuk pisau yang tersembunyi di bawah koran. Karena agak dalam, jelas darah yang keluar pun sangat banyak. Saya hanya diam karena efek kaget tertusuk pisau ditambah melihat darah yang keluar. Setelah agak ‘sadar’ saya cuma refleks mau ke kamar mandi untuk mencuci jari tersebut dan setelahnya mau diberi betadine. Mungkin kakak saya ikut-ikutan kaget, refleks beliau keluar rumah memotong lidah buaya untuk menyembuhkan luka saya. Menurut beliau yang dulunya pernah ikut palang merah, lendir lidah buaya bisa menyembuhkan luka. Duh terharu..rasa-rasanya ingin nangis di depan kakak, tapi gengsi hehe. Waktu itu karena bertepatan dengan Idul Adha (kalau tidak salah), ayah sedang tidak ada di rumah  bantu-bantu di mesjid dan ibu kebetulan sedang menunaikan ibadah haji. Mungkin kakak saya merasa punya tanggung jawab lebih saat itu, sehingga kesigapannya agak membuat saya kaget juga, kok tumben gitu hehe.

Lanjut ke pasca pernikahan kakak, berminggu-minggu setelah kakak menikah, saya masih digelayuti sedih. Masih berpikiran bahwa kakak saya sudah direbut oleh orang lain. Setiap kakak saya akan pulang ke kontrakannya setelah berkunjung dari rumah orangtua, saya pasti menangis (itulah alasan saya tidak pernah mengantar beliau keluar pintu). Tapi lama kelamaan saya bisa menerima dan pandangan saya terhadap kakak ipar saya pun berubah.
(Bersambung...)

Di lanjutan yang berikutnya, saya akan menceritakan akumulasi stres lainnya dan dampak verbal abuse pada saat saya masih kecil yang ternyata juga memicu terjadinya depresi yang saya alami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar